Senin, 19 Desember 2011

pandangan umat khatolik


PANDANGAN UMAT KATOLIK
 TERHADAP MULTIKULTURALISME
Interview ini dilaksanakan untuk memenuhi tugas Pendidikan Multikultural
Dosen pengampu : Muh. Agus Nuryatno, M.A, Ph.D


Disusun oleh :
1.          Jumi Aprilyaningrum              09470051
2.          Sony Eko Adisaputro             09470154
3.          Ahmad Wahyu Adi                09470161
4.          Anik Trihidayati                      09470184

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2011

Nama               : maura
Alamat                        : Sapen GK 1 no 353
Nama               : Eri Winarti
Alamat                        : Gendeng GK IV 636

1.    Bagaimana pandangan anda (umat katolik) tentang adanya multikulturalisme?
pandangan tentang adanya multikultural bagi umat katolik menerima dan menghargai adanya multikultural di negara kita (Indonesia), karena di negara kita sejak berdiri sudah ada dalam multikulturalisme. Negara indonesia bukan berdiri atas keseragaman suku, agama, ras dan lain-lain. Tetapi sebaliknya kita bersatu dari perbedaan hyang ada. Multikulturalisme bukanlah sesuatu yang harus ditentang atau dihilangkan, melainkan mu;tikulturalisme menjadi sesuatu yang perlu disadari sebagai sebuah kekayaan yang membantu setiap orang untuk berkembang sesusai dengan hati nuraninya.
2.    Apa manfaat adanya multikulturalisme bagi anda sebagai pemeluk agama Katolik?
Perbedaan budaya bagi umat katolik menjadi tanda kekayaan dan kemahakuasaan Allah, kebudayaan dan keragaman manusia menjadi pertanda kemahaan Tuhan, dan dengan adanya multikultural dapat menambah pengetahuan, pengalaman tentang agama lain. Implikasi logis dari hal itu adalah adalah dengan menerima multikulturalisme, kami juga menghargai Allah sebagai pencipta segala yang baik.
Perbedaan agama tentunya memperkaya dan memperkuat khasanah iman yang kami hayati, dimana kami boleh belajar juga dari agama dan kebiasaan dari agama lain.
3.    Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, etnik. Budaya dan agama. Dari keberanekaragaman tersebut, apakah anda (sebagai umat katolik) merasa adanya diskriminasi dalam masyarakat?
Dalam fakta yang tejadi (dalam ranah umum bukan berada dilingkungan sekitar kami saat ini), kami merasakan adanya diskriminasi bagi perkembangan agama katolik. Misalnya dari segi pendidikan : umat katolik merasakan kurang adanya perhatian dari pihak pemerintah, dari segi peribadatan : kerap kali pendirian rumah ibadah membutuhkan waktu yang sangat panjang dan sangat berbelit – belit sehinnga membuat umat tidak dapat beribadah dengan leluasa. Namun, kami tidak dapat menyalahkan satu pihak saja, kami juga merenungkannya secara pribadi dalam persekutuan sebagai umat katolik, karena mungkin pihak dari umat kami kurang membahur dengan lingkungan masyarakat sekitar.
4.    Sudahkah anda (sebagai pemeluk umat Katolik) merasa terjamin dengan hukum dan U.U yang ada di Indonesia? Puaskah? Kenapa?
Bagi umat katolik sudah merasa terjamin dengan adanya undang-undang 19945 pasal 28E ayat 1 yang berbunyi “setiap orang bebas memeluk agama dan beribasatan menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajarannya, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
5.    Bagaiman respon masyarakat sekitar terhadap keberadaan anda sebagai kaum minoritas?
Masyarakat sekitar sangat menghargai dan menerima keberadaan kami sebagai umat katolik. Dan selama ini kami tinggal disini tidak ada tindakan atai perkataan yang melecehkan atau merendahkan kami sebagai umat yang minoritas.
6.    Bagaiman cara anda bermasyarakat dengan penduduk sekitar yang mayoritas berlainan agama dengan anda?
Kami hidup bersama sebagai manusia beriman pada umumnya. Kami menghargai dan menerima setiap orang sebagai sesama manusia yang tentunya mendambakan penerimaan, kasih dan penghargaan. Kami sebagai warga setempak dan selayaknya warga yang lain, kami menyapa dikala bertemu, saling silaturahmi antar warga. Membagi kegembiraan disaat ada momen seperti perayaan kemerdekaan RI, mengadakan kegiatan 17 Agustusan dengan masyarakat sekitar.
7.    Jika anda hidup ditengah-tengah lingkungan umat islam, lalu mereka melakukan ritual keagamaan contohnya Shalat Jum’at. Apakah kegiatan mereka mengganggu aktifitas anda? Jika mengganggu, apa saran anda?
Umumnya kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh umat Muslim yang ada disekitar kami tidaklah sangat mengganggu aktivitas kami. Jika pada suatu kali ada suara speaker yang terlalu keras kami mencoba melihat sisi positif dari kejadian itu, karena itu sebagai sarana yang dipakai umat Muslim dalam menjalankan ibadah.
8.    Dengan banyaknya isu pengeboman digereja-gereja yang diidentifikasi dilakukan oleh umat islam radikal, apakah anda nyaman hidup dilingkungan umat islam terutama didekat masjid? Tidakkah anda merasa cemas?
Kami tetap merasa nyaman hidup dilingkungan sekitar kami, karena kami tidak merasa terganggu dan cemas, sebab kami yakin bahwa masyarakat sekitar kami akan menjadi pembela dan pelindung kami disaat terjadi hal – hal yang tidak diinginkan. Kami tidak mau menyamaratakan setiap orang berdasarkan perbuatannya, mungkin ada umat muslim di tempat tertentu melakukan pengeboman, namun itu tidaklah mungkin dilakukan oleh umat muslim yang ada di sekitar kami. Kami juga berpikir bahwa tidak semua umat muslim menyetujui tindakan pengeboman apapun alasannya, kiranya pandangan inilah yang juga dimiliki oleh masyarakat sekitar kami.
9.    Apakah didalam ajaran agama katolik terdapat perbedaan kasta? Seandainya ada coba jelaskan?
Dalam ajaran katolik tidak ada perbedaan kasta. Setiap pribadi memiliki hak yang sama sebagai anak-anak Allah, karena setiap pribadi berhak turut serta dalam kebahagiaan yang dijanjikan oleh Kritus, yaitu kerajaan surga. Setiap orang ikut ambil bagian dalam tugas pelayanan gereja sesuai dengan talenta dan kemampuannya. Dalam hal ini, kami mengikuti kaidah yang berlaku dalam Kitab Suci Tradisi Gereja dan Kuasa Mengajar Gereja (para uskup)
10.    Setujukah anda dengan ungkapan “semua agama adalah baik dan tidak ada satu agama pun yang mengajarkan keburukan”? mengapa?
Dalam studi tentang agama-agama yang dipelajari oleh para pemimpin dan pengajar umat, kami menemukan ajaran kebaikan dan kebenaran setiap agama. Terlebih di dukung oleh hasil Konsili Vatikan II (pertemuan para uskup sedunia pada tahun 1962-1965). Kami setuju dengan ungkapan itu, dimana setiap agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran, karena kami menerima dan menghargai agama-agama lain, dan juga kami menyakini bahwa di dalam ajaran agama lain juga diajarkan tentrang kebaikan dan kebenaran. Segala yang baik berasal dari Allah.
11.    Menurut anda apakah di dalam ajaran agama lain terdapat kebenaran dan kebaikan?
Ya, ada karena kami menyakini bahwa setiap agama diajarkan tentang kaebaikan dan kebenaran. Dan kegala kebenaran datang dari Allah.
12.    Menurut anda apakah semua orang bisa masuk surga? Kenapa?
Kami mengatakan bisa, tetapi kami tidak menjamin secara mutlak mengatakan “bisa”. Karena semua itu hanyalah kekuasaan Allah. Namun secara pribadi kami sebagai umat katolik menyakini bahwa mereka yang menjadi milik krituslah yang memperoleh keselamatan.
13.    Apa saran anda agar multikultusralisme dapat terjaga dengan baik?
Saran kami ialah : mengakui perbedaan dan menghargainya, jangan pernah merasa diri yang “paling” dari yang lain, karena dengan demikian kita menjadi pengambil keputusan yang sepihak, melihat perbedaan sebagai kekayaan yang akan membantu setiap orang untuk berkembang dalam iman, dan bukan sebagai ancaman.

Senin, 03 Januari 2011

KALIMAT DALAM PENYUSUNAN KARANGAN

Ada tiga alasan yang mendasari pentingnya kemampuan me¬nyusun kalimat bagi seorang penulis. Pertama, kalimat merupa¬kan ba¬gian terkecil karang¬an yang meng¬¬ung¬kap¬kan pi¬kir¬an yang utuh se¬ca¬ra ketatabaha¬saan (Alwi dkk. 1993:254). Kedua, kalimat merupakan satuan dasar pembentuk karangan (Al¬¬wi dkk. 1993:349). Ketiga, karangan yang baik memiliki nilai keterbacaan yang ting¬gi. Ka-rangan yang demikian adalah ka¬rang¬an yang ditampilkan da¬lam ka¬limat-kalimat yang ber¬¬sa¬ha¬bat de¬ngan pem¬ba¬ca (bdk. Ra¬¬¬¬zak, 1985:2).
Ide yang terkandung dalam suatu karangan hanya akan dapat dipahami secara baik oleh pembaca manakala diungkapkan di da¬lam ka¬limat-kalimat yang benar. Untuk itu, ka¬limat-kalimat dalam ka¬rangan perlu disusun de¬ngan mema¬tuhi kaidah-kaidah penyusun¬an kalimat yang berlaku. Kalimat yang di¬bentuk sesuai dengan kai¬dah-kaidah penyusun¬an kalimat yang ber¬la¬ku itu di¬sebut ka¬¬limat yang be¬nar (lih. Hu¬to¬mo, 1983:25). Ka¬limat yang seba¬lik¬nya di¬se¬but ka¬limat yang sa¬lah. Perhatikanlah con¬toh di bawah ini.

(3) Bank sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan da¬ri sis¬¬¬tem per-ekonomian di negeri kita.
(4) Dalam menghadapi percaturan dunia bisnis, di mana ne¬ga¬ra yang satu dengan negara yang lain saling bersaing un¬¬tuk mem¬perebutkan pasaran dunia dalam memperdagangkan ha¬¬¬sil produksi yang berkualitas baik dengan har¬ga yang mam¬¬¬pu dijangkau oleh konsu¬men.

Kalimat (3) tersebut merupakan kalimat yang salah karena belum se¬lesai. Bandingkanlah dengan (3a) berikut.

(3a) Bank sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan da¬¬¬ri sis¬tem perekonomian di negeri kita ....

Dari kalimat (3a) dapat diketahui bahwa kalimat (3) tersebut belum me¬¬mi¬liki sebutan (atau predikat), padahal kalimat yang benar dan leng¬¬kap setidak-tidaknya ber¬unsur subjek (atau pokok) dan predikat (atau sebut¬an). Subjek adalah bagian kalimat yang di¬terangkan oleh pre¬dikat. Pre¬dikat ada¬lah bagian kalimat yang ber-fungsi sebagai pen¬¬¬¬je¬las atau yang memberikan keterangan pokok (lih. Ngafenan, 1985: 75). Jadi, kesalahan kalimat (3) tersebut terletak pada tidak adanya atau ti¬-dak jelasnya predikat atau sebutan¬nya. Kalimat (3) tersebut be¬lum me¬ru¬pakan kalimat yang lengkap.
Kendati efektif, kalimat (4) juga salah. Kesalahan kalimat (4) itu ter¬¬letak pa-da penggunaan kata di mana yang tidak sesuai dengan kaidah penggunaannya. Da¬lam bahasa Indonesia, kata di ma¬na se¬ha¬rus¬nya ha¬nya di¬gu¬nakan da¬¬lam kalimat tanya se¬perti di ba¬wah ini.

(5) Di dalam kendaraan, aku bertanya kepada polisi yang men¬¬jem¬put¬ku. “Lukanya gawat, Mas?” Di mana dia ter¬¬ta¬¬brak? Mobil apa?”

Namun, dalam kalimat (4) tersebut justru digunakan untuk meng¬¬hu¬bung¬kan ba¬-gian-ba¬gian kalimat. Pemakaian seperti itu ti¬dak sesuai de¬¬ngan kaidah pemakaian kata di mana dalam bahasa Indonesia. Oleh ka¬rena itu, untuk menjadi kalimat yang benar, kata di mana kali¬mat (4) tersebut lebih baik dihilangkan sehingga kalimatnya beru¬bah menja¬di sebagai ber¬ikut.

(4a) Dalam menghadapi percaturan dunia bisnis, ne¬gara yang satu dengan negara yang lain bersaing untuk mem¬¬pe¬re¬butkan pasaran dunia dalam memperdagangkan ha¬sil pro¬¬duksi yang berkualitas baik dengan har¬ga yang mam¬¬pu dijangkau oleh kon¬su¬men.

Dengan penghilangan kata di mana, dapat diketahui bahwa kalimat (4a) lebih efektif, dan sekaligus lebih mudah dipahami, daripada kalimat (4) karena hubungan antarbagian dalam kalimat (4a), yaitu an¬tara dalam menghadapi percaturan dunia bisnis dan ne¬ga¬ra yang sa¬tu de¬ngan negara yang lain bersaing untuk mem¬pe¬re¬butkan pa¬saran dunia dalam memperdagangkan ha¬sil produksi yang ber¬kua¬litas baik dengan har¬ga yang mam¬¬pu dijangkau oleh kon¬su¬men, lebih jelas.
Kalimat yang taat kaidah bukan hanya benar susunannya, te¬ta¬pi juga menuntut persyaratan yang lain. Persyaratan yang lain itu se¬perti terpapar berikut ini.

A. Ada Keserasian Bentuk dan Makna
Kalimat yang taat kaidah menuntut adanya keserasian antara bentuk dan maknanya. Maksudnya, penggabungan dua kata atau le¬bih dalam satu kalimat me-nun¬tut adanya keserasian bentuk dan mak¬na (lih. Al¬wi dkk. 1993:293-294). Keserasian bentuk dan mak¬na da¬lam pe¬nyu¬s¬unan kali¬mat itu sangat pen¬ting bagi terbentuknya ka¬rang¬an yang ni¬lai keterbacaannya tinggi. Jadi, setiap kalimat da¬lam ka¬rangan ha¬rus be¬¬nar bent¬uknya dan juga ha¬rus logis mak¬na¬nya (Yoha¬nes, 1991:3). Per¬hatikan¬lah kalimat (9) dan (10) berikut ini.

(6) Dia mengerumuni mahasiswa.
(7) Anjing itu membelikan kami gula.

Kalimat (6) tersebut benar secara ketatabahasaan, tetapi tidak logis atau tidak lazim karena di dalamnya tidak terdapat kese¬rasian bentuk. Dalam membentuk kalimat, kata menge¬rumuni me¬nuntut kehadiran subjek kalimat bermakna jamak seperti para wartawan da¬lam contoh (8) ber¬ikut, bukan bermak¬na tunggal seperti pada kalimat (7) tersebut.

(8) Para wartawan mengerumuni Menteri Luar Negeri yang ba¬ru saja tiba dari Bangkok.

Sementara itu, kalimat (7) juga benar secara ketatabahasaan, tetapi tidak logis dan tidak lazim dalam pemakaian karena tidak mengan¬dung keserasian mak¬na. Adalah sangat aneh dan tidak lazim ma¬na¬ka¬la anjing berperilaku sa¬ma de¬ngan ma¬nusia.

B. Unsur-unsur Pembentuknya Lengkap
Suatu kalimat dapat dikatakan benar-benar sebagai kalimat yang utuh apa¬bi-la unsur-unsur pem¬ben¬tuk¬nya lengkap. Lengkap itu da¬¬lam penger¬tian se¬tidak-tidak¬nya terdiri atas subjek dan pre¬dikat. Per¬ha¬ti¬kan¬¬lah con¬¬toh yang berikut.

(9) Banyak industriawan yang tidak dapat menyalurkan ba¬rang-ba¬rang produksi¬nya.

Kalimat (9) tersebut belum selesai sehingga bukan merupa¬kan kalimat yang lengkap. Ban¬dingkanlah dengan (9a) ber¬ikut.

(9a) Banyak industriawan yang tidak dapat menyalurkan ba¬rang-ba¬rang produksinya ....

Dari bentuk (9a) dapat diketahui bahwa kalimat (9) tersebut belum memiliki jabatan predikat. Kalimat (9) da¬pat men¬¬jadi ka¬limat yang lengkap kalau kata yang dihilangkan sehingga menjadi sebagai berikut.

(9b) Banyak industriawan tidak dapat menyalurkan barang¬ba¬¬rang pro-duksinya.

C. Subjek dan Objek Kalimat Tidak Boleh Berkata Depan
Kalimat yang lengkap dapat terdiri atas jabatan subjek, pre¬di¬kat, ob¬jek, dan keterangan. Perlu diperhatikan bahwa dalam ka¬li¬mat yang benar, khusus jabatan subjek dan objek itu tidak bo¬leh di¬da¬¬hului oleh ka¬ta depan. Kata depan itu misalnya di, ke, dari, ke¬pada, pa¬da, dengan, bagi, untuk, tentang, mengenai, dan menurut. Perhatikan¬lah ka¬li¬mat (10)-(14) ber¬ikut ini.

(10) Di Indonesia memiliki berbagai macam budaya yang ma¬sing-masing mempunyai ciri khas tersendiri.
(11) Bagi mahasiswa baru menganggap bahwa OSPEK ada¬¬lah arena perpeloncoan atau per¬badutan.
(12) Dengan otonomi daerah memiliki sisi positif mau¬pun negatif, baik bagi pe¬me¬rin¬tah daerah maupun pe¬¬me¬rintah pusat.
(13) Banyak anggota masyarakat belum menyadari tentang pen¬¬¬¬tingnya sektor pariwisata ini.
(14) Bab sepuluh ini membahas tentang kelompok se¬nya¬¬wa aldehida dan keton.
Kalimat (10)-(12) tidak dapat dikenali jabatan subjek¬nya ka¬¬¬rena kata atau kelompok kata yang seharusnya dikategorikan mendu¬duki jabatan itu, yaitu di Indonesia, bagi mahasiswa baru, dan de¬ngan oto¬nomi daerah didahului oleh ka¬ta depan di, bagi, dan dengan. Supaya jabatan itu dapat ditentukan, kata depan di, bagi, dan dengan di de¬pan jabatan subjek tersebut harus dihilangkan sehingga kalimatnya menja¬di (10a)-(12a) berikut.

(10a) Indonesia memiliki berbagai macam budaya yang ma¬sing-masing mempunyai ciri khas tersendiri.
(11a) Mahasiswa baru menganggap bahwa OSPEK adalah are¬na perpeloncoan atau perba¬dut¬an.
(12a) Otonomi daerah memiliki sisi positif mau¬pun ne¬ga¬tif, baik bagi pe¬me-rin¬tah daerah maupun peme¬rin¬tah pu¬sat.

Kalimat (13) dan (14) juga tidak benar karena jabatan objek atau hal yang dibicarakan, yaitu tentang pentingnya se¬ktor pariwi¬sata ini dan tentang kelompok se¬nyawa aldehida dan keton, didahului kata depan tentang. Kalimat (13) dan (14) tersebut di¬izinkan apa¬bila ka¬ta depan tentang yang mendahului objek di¬hilangkan sehingga ka¬li¬mat¬nya menjadi sebagai berikut.

(13a) Banyak anggota masyarakat belum menyadari pen¬ting¬nya sektor pa¬riwisata ini.
(14a) Bab sepuluh ini membahas kelompok se¬nyawa alde¬hi¬da dan keton.

Hal yang dibicarakan dalam contoh (13) tersebut diizinkan berkata depan bila kalimatnya diubah menjadi sebagai berikut.

(13b) Banyak anggota masyarakat belum sadar akan pen¬ting¬¬nya sektor pariwisata ini.
(13c) Banyak anggota masyarakat belum sadar terhadap pen¬¬¬ting¬¬¬nya se¬gi pariwisata ini.

D. Kata yang mana dan di mana bukan Kata Peng¬hu¬bung
Dalam bahasa Indonesia terdapat kata yang mana dan di ma¬¬na. Kedua kata itu bukan merupakan kata penghubung, melainkan me

rupakan kata tanya sehingga menurut kaidah kedua kata itu di¬gu¬nakan dalam kalimat pertanyaan. Kata yang ma¬na dipakai untuk me¬nanyakan sesuatu atau seseorang da¬ri suatu ke¬lompok pilihan (contoh (15)), sedangkan kata di mana dipakai untuk menanya¬kan tempat berada (contoh (16)). Perhatikanlah con¬toh di bawah ini.

(15) Di antara tiga mesin ketik ini, menurut Anda, yang ma¬na yang ter¬baik?
(16) Di dalam kendaraan, aku bertanya kepada polisi yang men¬¬jem¬put¬ku. “Lukanya gawat, Mas?” Di mana dia ter¬ta¬brak? Mobil apa?”

Kata yang mana dalam contoh tersebut dipakai untuk mena¬nya¬kan mesin ketik yang terbaik di antara tiga pilihan mesin ketik, se¬dang¬kan kata di mana dipakai untuk menanyakan tempat seseo¬rang ter¬tabrak.
Yang menjadi masalah adalah di dalam karangan kata yang ma¬na dan di mana sering digunakan kata peng¬hubung. Perhatikan¬lah contoh (17) dan (18) berikut ini.

(17) Indonesia termasuk sebagai negara agraris yang mana se¬ba¬gian besar pendu¬duknya bercocok tanam.
(18) Menurut para ahli ekonomi, dalam kondisi riil per¬eko¬no¬mi¬¬an Indonesia seka¬rang ini, di mana asas kekeluar¬gaan an¬tar¬bisnis tidak mu¬dah ditemukan.

Pemakaian yang mana dan di mana seperti pada contoh (17) dan (18) itu tidak tepat karena tidak sesuai dengan aturan pemakaian kedua kata itu dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, ke¬¬dua kata itu ti¬dak diizinkan dipakai sebagai kata penghubung. Oleh karena itu, contoh (23) dan (24) itu harus diubah men¬jadi sebagai berikut.

(17a) Indonesia termasuk sebagai negara agraris yang seba¬gi¬an besar penduduknya bercocok tanam.
(18a) Menurut para ahli ekonomi, dalam kondisi riil pereko¬no¬mi¬¬an Indonesia seka¬rang ini, asas kekeluargaan an¬tar¬bis¬nis tidak mu¬dah ditemukan.
Dalam kalimat (17a) dan (18a) tersebut tampak bahwa kata mana dan di mana tidak perlu dipakai.

E. Tidak Berunsur Kata Mubazir
Kalimat yang benar harus padat, tetapi jelas. Hal ini ber¬aki¬bat bahwa pemakaian dua kata yang bersinonim tidak di¬izin¬kan. Perhatikan¬lah contoh yang ber¬ikut.

(19) Indonesia adalah merupakan negara berkembang yang mem¬¬¬¬pu¬nyai penduduk dan wilayah yang besar.
(20) Keakraban ini dimaksudkan agar supaya ada kontak di an¬¬¬¬ta¬¬ra para alumnus.

Kalimat (19) dan (20) tersebut tidak diizinkan karena mengan¬dung ka¬ta mu¬bazir. Yang mubazir dalam kalimat (19) adalah ada¬lah atau meru¬pa¬kan, sedangkan dalam kalimat (20) adalah agar atau supa¬ya. Untuk meng¬¬hilangkan kemubaziran seperti itu, kalimat (19) dan (20) hen¬daknya diubah menjadi sebagai berikut.

(19a) Indonesia adalah negara berkembang yang mempunyai pen¬¬¬¬duduk dan wilayah yang besar.
(19b) Indonesia merupakan negara berkembang yang mempu¬nyai penduduk dan wi¬layah yang besar.
(20a) Keakraban ini dimaksudkan agar ada kontak antara pa¬ra alum¬nus.
(20b) Keakraban ini dimaksudkan supaya ada kontak di an¬ta¬ra pa¬¬¬ra alumnus.

F. Penggunaan Kata Penghubung secara Eksplisit
Dalam karangan, sering dijumpai kalimat seperti berikut ini.

(21) Memasuki era pasar bebas sekarang ini, kita per¬lu tahu apa yang dimaksud dengan pasar bebas.
(22) Menghadapi perkembangan yang pesat ini, kita per¬lu ber¬upaya se-optimal mungkin untuk dapat me¬¬man¬fa¬at¬kan peluang-peluang yang ditimbulkannya.

Contoh (21) dan (22) tersebut merupakan kalimat majemuk karena masing-masing terdiri atas dua bagian, yaitu memasuki era pasar be¬bas se¬karang ini dan kita per-lu tahu apa yang dimaksud dengan pasar bebas untuk contoh (21) dan menghadapi perkembangan yang pe¬sat ini dan kita per¬lu berupaya se¬optimal mungkin untuk dapat me¬¬man¬fa¬atkan peluang-peluang yang ditimbulkannya untuk contoh (22). Namun, sebagai kalimat majemuk, kedua contoh ter¬se¬but tidak taat kaidah karena tidak berunsur kata penghubung sebagai syarat suatu kalimat disebut kalimat majemuk sehingga perlu dihindari pengguna¬an¬nya dalam karangan. Kalimat majemuk se¬per¬ti contoh (21) dan (22) tersebut boleh dipa¬kai dalam karangan asal¬kan di¬lengkapi dengan kata peng¬hu¬bung. Jadi, con¬toh (21) dan (22) tersebut akan men¬jadi kalimat majemuk yang taat kai¬dah apabila dilengkapi, misalnya. dengan kata peng¬hubung sebelum pada contoh (21) dan untuk contoh (22) sehingga masing-masing berubah menjadi sebagai ber¬ikut.

(22a) Sebelum memasuki era pasar bebas sekarang ini, kita per¬lu tahu apa yang dimaksud dengan pasar bebas.
(23a) Untuk menghadapi perkembangan yang pesat ini, kita per¬¬¬¬lu berupaya se¬optimal mungkin untuk dapat me¬¬man¬¬fa¬at¬kan peluang-peluang yang ditimbulkannya.

Yang perlu diperhatikan adalah penulis perlu cermat da¬lam me¬manfaatkan kalimat majemuk dalam karangan. Kecermatan itu di¬per¬lukan karena identitas kalimat majemuk bukan sekadar terdiri atas dua bagian seperti con¬toh (22) dan (23), misalnya, melainkan juga ber¬¬kata peng¬hu¬bung secara eksplisit. Kalimat majemuk yang taat kai¬dah adalah ka¬limat majemuk yang berkata penghubung secara eks¬¬pli¬¬sit. Identitas itulah yang senantiasa diperhatikan penulis dalam menggunakan kalimat majemuk dalam karangan yang sedang disu¬sun¬¬¬nya.
Penulis perlu pula hati-hati dalam memilih dan menggu¬na¬kan kata penghubung dalam karangan. Kehati-hatian itu perlu karena dalam baha¬sa Indonesia terdapat dua kelompok kata penghubung, yaitu kata peng¬hubung yang berfungsi menghubungkan bagian-ba¬gi¬an dalam ka¬limat majemuk dan yang meng-hubungkan kalimat-ka¬limat dalam pa¬ragraf. Kehati-hatian itu diperlukan agar penulis tidak keliru da¬lam memi¬lih atau menggunakan kata penghu¬bung dalam karang¬an. Perha¬tikan¬lah contoh berikut ini.

(24) Seseorang menggunakan simbol manakala ia merasakan bahwa dengan simbol itu ia telah manunggal de¬ngan ide¬¬nya dan terlalu keramat jika ide itu tidak di¬ter¬je¬mah¬kan ke dalam bahasa simbolik.

Kata-kata manakala, bahwa, dan, dan jika dalam contoh (24) tersebut me¬rupakan kata penghubung dalam kalimat majemuk. Menurut kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia, keempat kata peng¬hubung itu tidak diizinkan digunakan dalam paragraf. Oleh ka¬rena itu, peng¬¬gunaan kata dan, misalnya, pada awal kalimat se-perti dalam contoh ber¬ikut hendaknya dihindari.

(25) Di sini seseorang yang membuat karya ilmiah harus menjelaskan apa yang menjadi fokus masalah baha¬san¬nya. Dan ia harus menjelaskan mengapa memilih ma¬salah tersebut. Dan mengapa masalah tersebut pen¬ting di¬bahas.

Jika penulis bermaksud menjadikan contoh (26) sebagai paragraf, akan lebih baik jika diubah menjadi seba¬gai berikut.

(25a) Di sini seseorang yang membuat karya ilmiah harus menjelaskan apa yang menjadi fokus masalah baha¬san¬nya. Di samping itu, ia harus menjelaskan mengapa me¬milih ma¬salah tersebut dan mengapa masalah tersebut pen¬ting dibahas.

Dari (25a) tersebut diketahui bahwa kata di samping itu merupakan ka¬¬ta penghubung dalam paragraf, sedangkan dan merupakan kata peng¬¬¬hubung dalam kalimat majemuk.
Kata penghubung dalam kalimat majemuk dan paragraf ada ber¬¬¬¬macam-macam. Berikut ini disajikan daftar ka¬ta penghubung da¬lam kalimat majemuk yang dikelompokkan menurut hubungan mak¬na¬nya, sedangkan untuk yang dalam paragraf di¬sajikan dalam bab IV di bawah.
KATA PENGHUBUNG DALAM KALIMAT MAJEMUK

Hubungan Makna Kata Penghubung dalam Kalimat Majemuk
1. penjumlahan dan, dan lagi, lagi, tambahan pula, tambahan lagi, lagi pula, serta, di samping, baik … mau¬pun
2. perlawanan tetapi, melainkan, sedangkan, padahal, tidak hanya … tetapi juga, tidak saja … tetapi juga, bukan hanya … melainkan juga
3. urutan lalu, kemudian
4. perlebihan bahkan, malah, malahan
5. pemilihan Atau
6. waktu sejak, semenjak, sedari, sambil, sembari, sewaktu, seraya, sementara, ketika, tatkala, sela¬gi, selama, sebelum, se¬telah, sesudah, se¬habis, seusai, sampai, hingga
7. syarat apabila, bila, manakala, jika, jika¬lau, kalau, asal, asalkan
8. tanpa syarat walaupun, meskipun, biarpun, kendati, kenda¬tipun, sungguhpun, sekalipun